Pengarang : Wiliater Hutagalung & Batara Hutagalung
Penerbit : Matapadi Pressindo
Tahun : 2016
Jumlah : 1
Sinopsis : Sehubungan dengan rencana Serangan Spektakuler terhadap Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Kala itu Jenderal Sudirman juga memanggil Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, yang ketika itu berada di markas gerilyawan di Pacitan. Hutagalung adalah Perwira Teritorial yang bertugas di Jawa Tengah dan dokter. Ia ikut memeriksa kesehatan Jenderal Sudirman yang terkena sakit paru-paru. “Kamu kan orang pinter, kamu harus bantu bangun strategi serangan,” demikian kata Sudirman kepada Hutagalung. Dikutip dari buku: “SUDIRMAN. Seorang Panglima, Seorang Martir.” Seri Buku TEMPO, Jakarta, 2012., hlm. 51. Jenderal TNI (Purn.) Dr. AH. Nasution dalam bukunya: “Memenuhi Panggilan Tugas, Kenangan Masa Gerilya”, jilid 2 A, yang terbit tahun 1983. menulis: “…Saya menginap di rumah Panglima B. Sugeng. Juga bertemu Bapak Kolopaking…..Juga hadir Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang menjadi penasihat Gubernur Militer…” Mayjen TNI (Purn.) TB Simatupang dalam bukunya: “Laporan dari Banaran. Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan” yang terbit tahun 1960, menulis: “Hutagalung, dr., aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki Belanda.” Misi yang seharusnya berjalan damai, sayangnya berubah menjadi medan perang baru bagi tentara Inggris. Perkembangan yang mencemaskan ini tidak terlepas dari peran Belanda yang mendompleng masuk di belakang Sekutu. Perang Konvoi yang terjadi di sepanjang jalan antara Bogor-Cianjur-Sukabumi-Bandung berlangsung dalam dua periode. Perang pertama terjadi pada 9-12 Desember 1945 dan berpusat di Bojong Kokosan. TK R bersama barisan laskar berhasil memukul konvoi Sekutu meski dengan persenjataan seadanya. Perang kedua terjadi pada 10-14 Maret 1946 dan puncaknya terjadi saat pengepungan terhadap tiga batalion Inggris di tengah kota Sukabumi. Aksi TRI bersama barisan laskar menjadi mimpi buruk bagi tentara Inggris. Bahkan para tentara Gurkha dari Nepal dan Batalyon Jats dan Patiala dari India yang sudah sangat terkenal sebagai mesin perang yang menakutkan dibuat tidak berdaya menghadapi gempuran pejuang Republik. Kekalahan ini meyakinkan Inggris dan Sekutu akan keberadaan TRI sebagai kesatuan tentara regular di bawah negara yang berdaulat. Peristiwa ini juga, bersama dengan perang “Bandung Lautan Api’, memaksa Sekutu kembali memasuki meja perundingan dan akhirnya bersedia melibatkan pihak Indonesia dalam misi APWI. Lewat perundingan di Yogyakarta tanggal 2 April 1946, yang disebut “Djogjakarta Agreement”, kemudian dibentuk suatu badan pelaksanaan yang dinamai POPDA (Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI), terdiri dari tenaga sejumlah instansi pemerintah yang terkait, dengan berintikan TRI untuk membantu misi Sekutu. Perang Konvoi adalah sebuah catatan prestasi penting bagi TRI, khususnya Resimen Sukabumi bersama barisan Hizbullah, Sabilillah, Pesindo, Banteng, Pemuda Proletar, KRIS, PRD, Laskar Merah dan laskar lainnya di bawah koordinasi komando Letkol Eddie Soekardi. Kemenangan ini menjadi bagian dari sejarah keberhasilan TKR/TRI sebagai tentara profesional Indonesia dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di kancah percaturan dunia Internasional. Keberasilan ini juga memaksa dunia internasional untuk mengakui keberadaan Negara Republik Indonesia yang berdaulat.