Pengarang : Hendi Jo
Penerbit : Matapadi Pressindo
Tahun : 2016
Jumlah : 1
Sinopsis : Banyak orang menyebut tema buku ini sebagai petite historie. Sejarah kecil. Peristiwa-peristiwa yang tidak menjadi fokus utama dan nyaris tidak tertulis di panggng sejarah. Tetapi, apakah perkara-perkara kecil dalam sejarah bisa diremehkan begitu saja? Tentu tidak! Justru dari hal-hal kecil itulah kita bisa mengenali bahwa kebesaran sejarah, berikut baik dan buruknya, dijalankan oleh manusia biasa, bukan oleh manusia super atau titisan dewa. Laiknya bangsa-bangsa lain yang pernah ditindas, Indonesia memiliki kegigihan yang khas. Anda tentu paham bagaimana orang-orang Eropa menganggap warga bumiputera sebagai ras bodoh yang tidak bermutu. Anggapan ini kemudian terbantahkan ketika orang-orang yang disebut vuile inlander (pribumi tolol) ternyata sanggup membajak De Zeven Provincien, kapal perang paling modern di zamannya yang menjadi kebanggan Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) Sebelumnya, para perwira kapal sudah berceloteh, “babi-babi itu hendak melarikan sebuah kapal yang begitu besar? itu tidak masuk akal, sedangkan sebelah kanan kapal saja mereka tidak bisa membedakan dari sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar!” Juga, tentu sulit untuk dipercayai apabila seorang jenderal bisa menjadi bawahan seorang letnan kolonel. Namun hal ini benar-benar pernah terjadi di Indonesia. Mayor Jenderal drg. Moestopo suatu hari melapor kepada atasannya, Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, bahwa kopornya telah hilang. Dan, seorang overste langsung tertawa karena yang mencuri pastilah anak buah Mayjen Moestopo sendiri, yaitu anggota BM (Barisan Maling). Sebagai seorang jurnalis, Hendi Jo membiasakan dirinya hidup didalam berbagai perjalanan. Dan, di tengah perjalanan-perjalanannya itu, ia selalu menyempatkan diri untuk menyusuri jalan-jalan kecil sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia pun merenungi dan menuangkannya dalam tulisan-tulisan yang fokusnya diabaikan oleh buku-buku sejarah pada umumnya.